Pages

Sabtu, 07 Desember 2013

Politik Multikultur



KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat hidayah dan karunia-Nya kepada kita semua, sehingga kami dapat menyelesaikan pembuatan makalah ini dengan tema “ Politik Multikultural
            Terlebih dahulu penyusun menyadari dengan sepenuhnya bahwa pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan dan belum dikatakan sempurna karena keterbatasan kemampuan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua pihak, diharapkan dapat memperbaiki pembuatan makalah di lain waktu agar bisa lebih baik lagi.
            Penyusun juga tidak menutup kemungkinan bahwa makalah ini juga dapat terselesaikan berkat bantuan banyak pihak, maka dalam kesempatan  ini kami ucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada Bu Nur Hidayah M, Si selaku dosen pembimbing kami yang sangat membantu dalam proses penyelesaian makalah ini dan atas arahannya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang ikut menyumbangkan dan ikut memberikan bantuan, sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.


                                                                        Yogyakarta, 16 September 2013

                                                                                                Penulis



BAB 1
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG MASALAH
Akar kata multikulturalisme adalah kebudayaan. Secara etimologis,multikulturalisme dibentuk dari kata multi yang artinya banyak atau beragam, kultural yang berarti budaya atau kebudayaan dan isme yang berarti aliran atau paham.Secara hakiki dalam kata tersebut terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing yang unik.
Indonesia ini merupakan salah satu Negara multikultural yang terbesar di dunia . Perbedaan suku , ras, bahasa, merpakan sebuah perbedaan yang lazim ada dalam suatu masyarakat. Indonesia adalah negara dengan banyak bangsa. Tidak hanya itu beragam ‘bangsa’ yang ada di Indonesia juga memiliki kelompok-kelompok identitas partikular di dalamnya. Dalam arti ini Indonesia adalah bangsa multikultur. Kultur sendiri adalah pandangan hidup, pandangan dunia, horison makna, dan nilai-nilai yang diyakini oleh seseorang atuapun suatu kelompok sebagai dasar pemikiran ataupun tindakannya. Adanya beragam kultur bisa menjadi potensi kekayaan budaya bangsa yang besar, sekaligus potensi pemecah dan pemicu konflik.
Dewasa ini di Indonesia sering terjadi konflik antar etnis yang dipicu oleh berbagai perbedaan atau permasalahan saperti masalah sosial, masalah ekonomi, masalah budaya, maupun masalah politik yang mengakibatkan perpecahan. Untuk itu pemerintahan berdasar politik multikulturalisme haruslah memberikan ruang bagi semua kelompok yang muncul dan berkembang di dalam masyarakat. Setiap kelompok haruslah memiliki wakil di parlemen maupun di kabinet. Inilah ide dasar dari parlemen dan kabinet multikulturalisme. Kepentingan setiap kelompok haruslah diberikan tempat untuk kemudian berdialog dengan kepentingan kelompok-kelompok lainnya. Semua kelompok dari berbagai kalangan harus mendapat tempat untuk menyalurkan aspirasinya dan ikut berpartisipasi dalam pemerintahan. Tidak ada diskriminasi terhadap kelompok tertentu, hak untuk berperan serta dalam pemerintahan atau kegiatan politik terbuka selebar-lebarnya bagi semua kelompok yang ada.



B.       RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah makalah ini antara lain adalah:
1.      Bagaimanakah yang dimaksud dengan multikulturalisme?
2.      Bagaimanakah politik Multikulturalisme di Indonesia setelah masa Orde Baru?
C.      TUJUAN
Tujuan dari pembahasan makalah ini antara lain adalah:
1.      Mengetahui apa yang dimaksud dengan Multikulturalisme
2.      Mengetahui bagaimana politik Multikulturalisme di Indonesia setelah masa Orde Baru


BAB II
LANDASAN TEORI

Akar kata multikulturalisme adalah kebudayaan. Secara etimologis,multikulturalisme dibentuk dari kata multi yang artinya banyak atau beragam, dan kultural yang berarti budaya atau kebudayaan serta isme yang berarti aliran atau paham. Pada kata tersebut terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaan yang masing – masing unik.
Multikulturalisme adalah paradigma yang menganggap adanya kesetaraan antar ekspresi budaya yang plural, selain itu multikulturalisme adalah sebuah filosofi yang terkadang ditafsirkan sebagai ideologi yang menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial politik yang sama dalam masyarakat modern.
Konsep multikulturalisme tidak dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara suku bangsa atau kebudayaan suku bangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan antara kebudayaan satu dengan kebudayaan lain. Penekanan pada keanekaragaman tersebut mencakup bukan hanya kebudayaan – kebudayaan suku bangsa, namun juga mencakup berbagai kebudayaan yang berlaku di Indonesia, baik yang bersifat tradisional maupun yang berasal dari luar. Multikulturalisme mengajarkan kepada kita bagaimana perbedaan yang ada tidak menjadi suatu hal yang dapat menyebabkan perpecahan atau konflik.
Masyarakat multikultural mempunyai karakteriktik, sebagaimana yang dikemukakan oleh Van Den Berghe. Karakteristik tersebut, di dalam masyarakat terjadi segmentasi yang membentuk mereka ke dalam bentuk kelompok – kelompok yang memiliki sub kebudayaaan yang berbeda satu dengan yang lain, memiliki struktur sosial yang terbagi ke dalam lembaga – lembaga yang bersifat nonkomplementer, terjadi kurang mengembangnya konsensus, yang diantaranya mengenai nilai – nilai sosial yang bersifat dasar yang ada dalam masyarakat, relatif sering terjadi konflik, secara relatif integrasi sosial yang ada dalam masyarakat tumbuh diatas paksaan dan saling ketergantungan di bidang ekonomi, serta adanya dominasi politik oleh suatu kelompok terhadap kelompok – kelompok lainnya.
Sementara politik multikulturalisme adalah pemerintahan dimana semua identitas khusus yang muncul dan berkembang di dalam masyarakat mendapat ruang.Setiap kelompok tersebut haruslah memiliki wakil di parlemen maupun di kabinet. Semua kelompok dari berbagai kalangan harus mendapat tempat untuk menyalurkan aspirasinya dan ikut berpartisipasi dalam pemerintahan. Tidak ada diskriminasi terhadap kelompok tertentu, hak untuk berperan serta dalam pemerintahan atau kegiatan politik terbuka selebar-lebarnya bagi semua kelompok yang ada.
Arah atau tujuan politik multikulturalisme  adalah untuk mendapat pengakuan keberagaman budaya yang menumbuhkan kepedulian agar berbagai kelompok yang termarjinalisasi dapat terintegrasi, dan masyarakat mengakomodasi perbedaan budaya agar kekhasan identitas mereka diakui. Sementara itu sasaran politik multikultural adalah untuk membentuk toleransi, keterbukaan, dan solidaritas, membangun artikulasi politik dan multikulturalisme guna menciptakan ruang publik agar beragam komunitas berinteraksi untuk memperkaya budaya dan memfasilitasi konsensus, mengimbangi kebijakan ekonomi yang teknokratis, multikulturalisme mengusulkan sistem baru representasi dan partisipasi, serta penataan ruang publik menyangkut tiga aspek, yaitu fisik-sosial, budaya, dan politik.
Terkait dengan politik multikulturalisme, ada istilah yang disebut dengan pluralisme. Pluralisme adalah konsep yang biasanya digunakan untuk mengartikan keberagaman sosial atau stratifikasi sosial dalam suatu masyarakat. Hal ini menyangkut, keanekaragaman pandangan dunia, etnisitas, agama, peran, dan orang – orang di dalam suatu masyarakat. Pluralisme mengarah pada kesadaran akan adanya pihak lain dan perbedaan baik dalam kehidupan nyata maupun kehidupan filosofis dengan representasinya.
Membahas mengenai pluralisme, gender dapat dikaitan dengan topik tersebut karena gender dianggap sebagai bagian dari problem pluralisme. Para ahli teori sosial terutama perempuan, menandaskan bahwa gender harus diakui sebagai kategori yang spesifik, realivistik, dan kultural. Dengan demikian, memasukkan gender dalam wacana pluralisme berarti mengakui bahwa gender bisa dibangun dengan berbagai representasi yang berbeda – beda.


BAB III
PEMBAHASAN

Pandangan dunia mengenai multikultural, secara substansif sebenarnya tidak terlalu baru di Indonesia. Prinsip Indonesia sebagai negara “ bhinneka tunggal ika”, mencerminkan bahwa meskipun Indonesia adalah negara yang multikultur namun tetap terintegrasi dalam keikaan, kesatuan.
Namun pada tahun – tahun awal kebangkitan nasional Indonesia, ada ketegangan budaya yang sangat dalam mengenai berbagai istilah dan rancangan bangsa ini. Ketegangan tersebut menyangkut orang – orang jawa sekuler dan orang – orang non-jawa, terutama kaum nasionalis Sumatera yang berorientasi pada agama islam. Penunjukan Soekarno sebagai presiden pertama menjadi pertanda kemenangan nilai – nilai nasionalis yang sekuler dan menyiapkan jalan bagi dominasi simbol – simbol jawa di tingkat nasional. Kesuksesan ini juga mempengaruhi corak khas yang digunakan untuk mencanangkan identitas gender di negara yang baru ini.
Sebagai contoh, sejak awal istilah Jawa wanita mulai digunakan lebih luas daripada istilah perempuan dari bahasa Melayu. Istilah perempuan menyiratkan makna yang lebih dinamis dan kuat tentang kewanitaan sebagaimana dimanifestasikan oleh para pemimpin perempuan melayu yang terkenal dalam sejarah Melayu-Indonesia. Sebaliknya, wanita mengandung konotasi suatu gaya lady-likeatau perilaku perempuan yang halus budi bahasanya. Penekanannya bukan hanya pada kehalusan itu, melainkan suatu kehalusan budi bahasa yang hanya ada dalam masyarakat Jawa kelas atas.
Sementara pada masa pemerintahan presiden Soeharto, pembangunan gender di Indonesia bersifat politis dalam artian bahwa proses pembentukan bangsa yang dibangun pada saat itu tidak hanya tergantung pada perkembangan ekonomi atau upaya membangun negara yang mandiri secara politis, melainkan juga bagaimana mengajari masyarakat mempertahankan peran – peran dan kedudukan mereka yang terbatas.
Munculnya budaya dan Jawa elite sebagai bangunan makro ideologis orde baru Soeharto telah menciptakan citra hegemoni dan hegemonis perempuan. Ekspresi kultural dari cita – cita ini adalah perempuan yang menikah tanpa lelah membaktikan hidupnya kepada suami dan anak – anak. Kesuksesan karier laki – laki dan pendidikan anak – anak menjadi parameter yang menunjukkan kesuksesan peran istri.
Selain mengendalikan militer sebagai basis kekuasaannya, Soeharto juga menuntut para pejabat pemerintah menjadi anggota partai Golongan Karya. Partai ini memiliki program yang dikenal dengan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila yang mana pemerintah memasukkan pandangan – pandangan hegemonis dalam segala hal, dari masalah kepresidenan hingga status perempuan dan para istri.
Dalam era yang menyuruh perempuan menerima sebuah tipe ideal mengenai feminitas dan maskulinitas yang dibangun untuk rezim tersebut. Ideologi ini menjadi pembatas kemampuan perempuan untuk memenuhi kebutuhan – kebutuhan kultural dan strategis mereka.
Gerakan reformasi yang muncul di akhir rezim Soeharto membawa peluang baru bagi perempuan untuk menengok kembali perlakuan – perlakuan sosial dan politik yang bersifat membatasi tersebut. Dalam lingkungan yang baru, diharapkan perempuan akan diberi kebebasan memilih perwakilan mereka yang konsisten dengan keadaan mereka sendiri tanpa stigma sosial.
Demokrasi yang merupakan aspirasi kita semua mensyaratkan agar kita menghilangkan sikap – sikap priyayi elite Jawa yang memungkinkan kaum elite menjalankan kekuasaannya terhadap kaum perempuan. Karena kaum elite tersebut mendapat tambahan legitimasi dari ajaran – ajaran agama yang konservatif, maka kunci penting untuk mengupayakan hal ini kita juga harus melatih perempuan untuk mengembangkan dan mengemukakan interpretasi – interpretasi progresif mereka akan tradisi religius mereka kalau hal tersebut menyangkut dua jenis kelamin bukan hanya untuk laki – laki saja. Pengakuan atas pandangan – pandangan perempuan dalam menangani segala aspek kehidupan merupakan bagian integral dari demokrasi dan masyarakat plural. Agar pendekatan pluralistik gender bisa berjalan, berarti kaum perempuan harus diberi hak memilih ekspresi – ekspresi heterogen bagi mereka sendiri.
Selain itu, salah satu ciri paling menonjol dari wacana politik resmi orde baru adalah pengingkaran adanya kelas – kelas atau konflik kelas. Eksistensi mereka bertentangan dengan inti pemikiran politik resmi orde baru, yang didasarkan pada pandangan holistik dan organis tentang hubungan antara negara dan masyarakat. Dengan kecenderungan ideologi ini, pergolakan sipil dalam Orde Baru Soeharto menunjukkan dimensi sosial-ekonomi atau kelas, hal ini sering kali dijelaskan dengan acuan – acuan etnis atau keagamaan. Misalnya, kerusuhan buruh di Medan pada tahun 1994 yang melibatkan 20.000 pekerja pabrik dan mengakibatkan kematian seorang pengusaha cina lokal. Hal tersebut menggambarkan ketegangan antara pribumi dengan etnis cina, dan bukan dikarenakan sebagai pertikaian antara pekerja dengan majikannya. Sementara sentimen anti-cina tak dapat diingkari merupakan salah satu faktor dalam kejadian tersebut, pelepasan isu – isu rasial dan etnis dari isu – isu yang berkaitan dengan ketidak adilan sosio-ekonomi yang begitu mencolok.
Sementara itu di Indonesia, politik multikulturalisme mulai menjadi wacana hangat yang diperbincangkan orang ketika mantan presiden Abdur Rahman Wahid atau Gus Dur menjabat. Beliau merupakan tokoh yang menghargai dan menjunjung tinggi perbedaan atau pluralisme yang ada di Indonesia. Salah satu caranya adalah dengan mengakui keberadaan dan eksistensi kaum Tionghoa ditengah – tengah warga pribumi, bahkan keturunan Tionghoa mendapat kesempatan untuk berperan serta dalam pemerintahan. Selain itu, Konghuchu, agama warga Tionghoa diakui sebagai agama resmi ke enam di Indonesia pada masa pemerintahannya.
Tiga aspek penting dari sikap eksistensial Gus Dur sebagai penghayatan hidupnya akan multikulturalisme. Ketiga aspek itu dapat menjadi landasan bagi terbangunnya sebuah politik multikulturalisme di Indonesia, yaitu terbangunnya penghayatan hidup bersama akan keberagaman sebagai bagian dari hidup bersama yang perlu dihayati secara konsekuen.
Aspek pertama dari multikulturalisme yang dengan gigih dihayati oleh Gus Dur adalah pengaku anak adanya pluralitas atau perbedaan cara hidup, baik secara agama, budaya, politik, maupun jenis kelamin.Hal tersebut memberi ruang kepada masing – masing masyarakat yang berbeda tersebut untuk mengaktualisasikan dirinya sendiri tanpa harus takut terkena diskriminasi dari pihak lain karena haknya dijamin dan dilindungi oleh hukum.
Konsekuensilogis dari pilihan politik seperti itu adalah toleransi menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari politik pengakuan.Akibatlogis yang masuk akal dari politik pengakuan adalah membiarkan orang lain berkembang dalam identitasnya yang unik.Gus Dur menghayati dan mempraktikkan toleransi yang berbeda dan sudah satu langkah lebih maju. Beliau mendorong semua kelompok melaksanakan penghayatan identitas kulturalnya secara konsekuen selama tidak mengganggu ketertiban bersama, tidak mengganggu dan menghambat kelompok lain. Beliau mendorong orang Kristen menjadi orang Kristen sebagaimana seharusnya seorang Kristen yang baik. Beliau pun mendorong orang Papua menjadi orang Papua dalam identitas budayanya yang unik dan seterusnya.
Aspek ketiga dari multikulturalisme Gus Dur adalah semakin ia mengakui kelompok lain dalam perbedaannya dan mendorong kelompok lain menjadi dirinya sendiri, semakin Gus Dur menjadi dirinya sendiri dalam identitas kultural dan jati dirinya. Semakin Gus Dur mendorong umat dari agama lain menghayati agamanya secara murni dan konsekuen, beliau justru semakin menjadi seorang muslim yang baik dan taat.



BAB IV
PENUTUP
A.     KESIMPULAN
multikulturalisme adalah pandangan saling menghargai dan menghormati dalam perbedaan dan bukan sekadar toleransi.Multikulturalisme adalah paradigma yang menganggap adanya kesetaraan antar ekspresi budaya yang plural, selain itu multikulturalisme adalah sebuah filosofi terkadang ditafsirkan sebagai ideologi yang menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial politik yang sama dalam masyarakat modern.
Pemerintahan berdasar politik multikulturalisme adalah pemerintahan dimana semua identitas partikular yang muncul dan berkembang di dalammasyarakat mendapat ruang.Setiap kelompok identitas partikular haruslah memiliki wakil di parlemenmaupun di kabinet. Sasaran Politik Multikultural :Membentuk toleransi, keterbukaan, dan solidaritas ;Membangun artikulasi politik dan multikulturalisme guna menciptakan ruang publik agar beragam komunitas berinteraksi untuk memperkaya budaya dan memfasilitasi konsensus.
Arah atau tujuan politik multikulturalisme  adalah untuk mendapat pengakuan keberagaman budaya yang menumbuhkan kepedulian agar berbagai kelompok yang termarjinalisasi dapat terintegrasi, dan masyarakat mengakomodasi perbedaan budaya agar kekhasan identitas mereka diakui.
B.     REFERENSI
Indra. 2012. Politik Multikultur. Di akses dari http://ambriomimpiku.blogspot.com/2011/12/politik-multikulturalisme.html pada tanggal 16 september 2013.

Hidayat bernandus. 2007. Politik Multikultural. Yogyakarta: impulse-kanisuis

Sistem Politik Pasca Jatuhnya Rezim Orde Baru



                       Seiring dengan jatuhnya rezim orde baru pimpinan Soeharto selama 32 tahun , maka sebuah era baru muncul . yaitu adanya pengakuan terhadap Multikulturalisme yang dulunya selama periode 32 tahun tersebut hanya dianggap “ada”  tanpa pengakuan jelas. Kini di era reformasi yang telah menganut paham desentralisasi, kearifan local itu membaur dengan budaya asli Multikulturalisme . Multikulturalisme perlu dikaji lebih jauh tentang konsep-konsepnya antara lain demokrasi, keadilan, dan hukum , nilai-nilai budaya dan etos , kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat , suku bangsa , kesuku bangsaan , kebudayaan suku bangsa , keyakinan keagamaan , ungkapan-ungkapan budaya , domain privat dan public , HAM , Hak budaya Komunity , dan sebagainya .

                 Reformasi yang terjadi pada tahun 1998 memberi harapan baru kepada seluruh elemen masdyarakat Indonesia akan terciptanya kehidupan yang lebih baik dalam segala hal. Pada zaman Orde Baru, represifitas Pemerintah pada waktu itu menciptakan masalah - masalah seperti diskriminasi rasial terhadap etnis tertentu (dalam beberapa hal), perlakuan tidak adil bagi orang – orang (dan keluarganya) yang diduga terlibat dalam jaringan PKI, intervensi, pengekangan kebebasan dan hak berpolitik masyarakat untuk berpikir, berorganisasi, mengemukakan pendapat, dan sebagainya.
Hadirnya Reformasi kemudian seakan menunjukkan sebuah jalan terang yang meluluhkan semua bentuk diskriminasi, ketidakadilan, intervensi, pengekangan kebebasan,dan sebagainya yang sempat terjadi selama masa Orde Baru. Reformasi memberikan mimpi dan harapan tentang kehidupan berbangsa dan bernegara yang jauh lebih demokratis, di mana kesejahteraan rakyat menjadi spiritnya. Jaminan terhadap adanya kebebasan – kebebasan yang sebelumnya dikekang kemudian memberi peluang – peluang bagi terwujudnya suatu tatanan baru dalam masyarakat Indonesia.
Pergeseran penafsiran makna demokrasi dan kebebasan berpolitik kemudian terjadi di dalam masyarakat Indonesia, begitu pula dalam hal manifestasi dan implementasinya. Kondisi yang terjadi di Indonesia kemudian adalah bertumbuh jamurnya berbagai partai politik dengan berbagai basis ideologi yang berbeda, khususnya pasca jatuhnya Orde Baru. Hal ini tentunya adalah konsekuensi dari adanya jaminan akan kebebasan dan hak berpolitik serta demokrasi yang dijanjikan oleh reformasi.
Yang menjadi masalah kemudian adalah partai – partai politik ini lebih sibuk mengaspirasikan kepentingan mereka sendiri dan melupakan apa yang menjadi aspirasi rakyat. Mereka sibuk berebut dan membagi – bagi kekuasaan kemudian melupakan substansi tujuan dari kekuasaan (politik) yaitu pelayanan dan kesejahteraan rakyat.
Berbagai kekhawatiran kemudian muncul dari kondisi perpolitikan seperti ini di masa yang akan datang. Begitupula dengan dampak yang akan ditimbulkan jika kondisi kondisi seperti ini terus terjadi, baik itu bagi lingkungan domestik Indonesia dengan berbagai bidang di dalamnya, maupun dalam hubungannya dengan dunia Internasional.
Kemajemukan dan pluralitas masyarakat Indonesia , menurut Retno Andriati  ( 1999 ) dapat dilihat secara horizontal maupun vertical . Indonesia dapat dikelompokkan menurut agama, ras, etnis, budaya dan lokalitas. Ini merupakan fisikal dan cirri-ciri bawaan dari masyarakat tersebut , jadi suatu masyarakat tersebut memiliki keunikan yang merupakan warisan nenek moyang mereka yang dipertahankan sampai sekarang. Secara vertical , masyarakat Indonesia dapat dibedakan menjadi golongan atas, golongan menengah , dan golongan bawah. Tahun-tahun pertama reformasi dimana kondisi labil yang terjadi dalam masyarakat  Indonesia dan adanya perubahan-perubahan frontal . baik dari segi sitem maupun pemerintahan , menjadikan semacam ke-chaos-an dalam masyarakat . Seperti ketika terjadi di Ambon , poso , dan Kalimantan . Dimana disana terjadi konflik horizontal yang lebih kepada pelanggaran Hak Asasi yang dilakukan kondisi masyarakatnya sendiri. Inilah dampak awal yang terjadi ketika transisi dari Orde baru ke Reformasi Dimana HAM seperti terinjak-injak oleh masyarakatnya sendiri. Akan tetapi , seiring berlangsungnya Reformasi yang telah berjalan kurang lebih selama 12 tahun ini , praktek-praktek seperti ini sudah jarang ditemukan , dan justru lebih terbuka menerima perbedaan yang ada. Mereka bahkan terintegrasi untuk memajukan Indonesia.
                 Langkah berani dilakukan oleh pemerintah Pusat yang mengeluarkan undang-undang yang berkaitan dengan multikulturalisme kebudayaan ini. Bangsa ini patut berbangga mempunyai pemimpin yang berjiwa Bhinneka Tunggal  Ika . Pada tanggal 16 September 1998 Presiden BJ. Habibie mengeluarkan instruksi presiden nomor 26 / 1998 yang ditujukan kepada seluruh jajaran birokrasi dan menghapuskan penggunaan istilah “ Pribumi “ dan “  Non Pribumi “ . Selanjutnya pada tanggal 17 Januari tahun 2000, Presiden Abdurahman Wahid mengeluarkan kepres No. 6/2000 yang berisi pencabutan instruksi Presiden No. 14/1967 tentang agama, kepercayaan dan adat istiadat cina . Kemudian dilanjutkan dengan Keputusan mentri agama No.13/2001 yang menetapkan Imlek sebagai libur  fakultatif dan diteruskan dengan pencabutan larangan penggunaan bahasa Tionghoa baik lisan maupun tulisan. Pada tanggal 17 Februari 2002, Presiden Megawati Soekarnoputeri mengumumkan mulai tahun 2003, imlek sebagai hari raya Tionghoa menjadi hari Nasional . Ini merupakan langkah yang strategis dimana peran serta masyarakat non pribumi diakui keberadaannya dan ikut juga diharapkan kontribusinya di dalam pembangunan Indonesia melalui kebudayaannya . Beberapa orang Tionghoa di solo, bias berintegrasi dengan orang-orang , lembaga-lembaga dan kebudayaan Jawa. Kegiatan seni merupakan jembatan antar dua kebudayaan Jawa dan Cina , kegiatan seni seperti tari , Karawitan , Wayang ,dll. Hal tersebut sangat tidak lazim dijumpai ketika Orde baru. Dimana kebudayaan tunduk pada represifnya pemerintahan .Komunitas-komunitas tersebut , juga berpotensi menjadi semacam kekuatan politik baru. Kembali ketika era Orde baru dimana kebebasan berpendapat dikebiri , dan hal itu berpengaruh pada kebebasan berpendapat dari komunitas-komunitas tersebut , mereka tidak bias menyuarakan pikiran-pikiran mereka dalam politik , karena pendapatmereka seakan tidak di dengar dan bahkan mereka tidak diberi kesempatan untuk mencicipi arena perppolitikan nasional . Kita tahu bahwa pemerintahan didominasi oleh rekan sejawat dari Soeharto .
                 Setelah runtuhnya rezim orde baru , dari sistem sentralistik ke system desentralisasi merupakan salah satu amanat rakyat dari agenda reformasi . Otonomi daerah sebagai wujud dari desentralisasi disambut positif oleh berbagai elemen dalam masyarakat . Otonomi daerah merupakan proses awal untuk mewujudkan pembangunan ditingkat local. Otonomi daerah sebagai amanat dari reformasi disambut cukup antusias oleh masyarakat local. Ada banyak harapan da keinginan yang mereka sandarkan pada otonomi daerah , meningkatnya pembangunan daerah dan juga peningkatan ekonomi dan kesejahteraan. Inilah tujuan dan cita-cita dari agenda desentralisasi dan implementasi otonomi daerah. Banyak pihak yang berharap bahwa pelaksanaan otonomi daerah itu akan memberikan wewenang yang besar kepada kabupaten  kota , namun banyak juga temuan yang menunjukkan bahwa otonomi daerah yang tidak diimbangi oleh perbaikan tata pemerintahan justru merugikan kepentingan public.
                 Kemempuan elit local dalam mempengaruhi masyarakat dikarenakan oleh beberapa hal , yaitu : pertama , mereka memiliki kekuasaan informal yang diakui dan dihormati oleh masyarakat. Elit  local secara umum memiliki pengetahuan dan wawasan yang cukup luas disbanding dengan kebanyakan masyarakat . Karena dengan adanya teknologi , baik media cetak maupun elektronik. Melalui tayangan media itulah mereka bias mengakses isu-isu reformasi dan juga akses pendidikan. Namun, peran strategis dari elit local untuk menjadi corong demokratisasi , menjadi sangat dilematis , ketika mereka mulai bersinggungan dengan kepentingan-kepentingan politik yang ingin mendapatkan masa pendukung dalam pemilu, terutama dalam pilkada langsung , demi kepentingan kelompok atau golongan . kondisi ini sebenarnya bisa dianggap sebagai sesuatu yang wajar  dan bentuk dari partisipasi elit local dalam berdemokrasi . tetapi yang menjadi masalah ketika elit local memanfaatkan kekuasaan untuk memonopoli masyarakat atau dengan mengarahkan pada pilihan politik tertentu . Selain itu ,  banyak juga terjadi kerusuhan-kerusuhan ditingkat local yang di picu oleh provokasi elit local . Disinilah terjadi ketidakserasian antara peran . Seharusnya dengan peran yang senyatanya , sehingga terjadi hambatan-hambatan dalam proses demokratisasi di daerah . Peranan elit local dalam mendorong demokratisasi di tingkat local sangat berpengaruh sekali, hal ini dikarenakan peran social yang mereka miliki. Dan mereka juga mempunyai pengaruh yang besar bagi masyarakat local. Biasanya mereka adalah panutan bagi masyarakat , sehingga mereka adalah sebuah symbol yang selalu dihormati dan dipatuhi. Tentunya kondisi masyarakat yang kental dengan budaya seperti ini di anggap sebagai penghambat dari proses demokrasi, Untuk melihat peranan elit local dalam demokratisasi, terutama pemilihan kepala daerah secara langsung . Dijelaskan dalam beberapa indicator peranan yaitu sebagai berikut :
a.      Peran dalam sosialisasi politik
           Pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan bentuk pesta demokrasi ditingkat local . Sehingga sangat penting pemahaman masyarakat terhadap system politik serta bagaimana masyarakat terlibat dan memainkan peran didalamnya sehingga mampu menempatkan pendidikan politik dalam sosialisasi agar masyarakat sadar menjadi sub politik . Sosialisasi merupakan mekanisme pembangunan demokrasi mengenai pendidikan polotik dan keberhasilan PILKADA ditentukan oleh bagaimana proses sosialisasi dilakukan.
b.      Peran dalam partisipasi politik
           Peranan elit sebagai salah satu actor dalam masyarakat , menjadikan mereka memiliki keterlibatan dalam proses PILKADA.
c.       Peran dalam control social
           Mengingat pentingnya PILKADA dalam proses panjang demokratisasi diindonesia, sudah selayaknya elit local mengambil peran sebagai bagian dari control social dalam proses tersebut.
Kemenangan Susilo Bambang Yudoyono dalam Pemilihan Presiden tahun 2005 kemudian menambah parah kekhawatiran rakyat. Apalagi latar belakang Presiden Yudhoyono adalah dari kalangan militer. Ini seakan mengindikasikan akan kembali berkuasanya rezim militer di Indonesia.
Kondisi ini tentunya diperparah oleh tidak befungsinya secara maksimal peran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam mengimbangi peran Pemerintah. Berbagai Rancangan Undang – Undang (RUU) dan aturan yang diusulkan oleh Presiden begitu mudahnya diloloskan di DPR. Hal ini tentu tidak lepas dari kuatnya basis dukungan terhadap Pemerintah di DPR. Setidaknya ada lima fraksi besar di DPR yang menjadi penyokong utama Pemerintah. Kondisi ini hampir mirip dengan kondisi di zaman Orde Baru, di mana Pemerintah mencengkeram habis DPR. Pemerintahan Presiden Yudoyono memang tidak serepresif Pemerintah Orde Baru, akan tetapi kuatnya basis dukungan terhadap pemerintahannya di DPR membuatnya sedikit otoriter dalam memerintah.
Kondisi – kondisi seperti ini yang tentulah harus dicarikan solusi jika kita tidak ingin jalan dan proses demokrasi mengalami hambatan di Indonesia. Setidaknya aturan yang dipermasalahkan oleh banyak pihak tersebut haruslah direvisi dan dibuatkan suatu aturan baru yang lebih menjanjikan kelangsungan dari jalan dan proses demokrasi di Indonesia.