Pages

Sabtu, 07 Desember 2013

Sistem Politik Pasca Jatuhnya Rezim Orde Baru



                       Seiring dengan jatuhnya rezim orde baru pimpinan Soeharto selama 32 tahun , maka sebuah era baru muncul . yaitu adanya pengakuan terhadap Multikulturalisme yang dulunya selama periode 32 tahun tersebut hanya dianggap “ada”  tanpa pengakuan jelas. Kini di era reformasi yang telah menganut paham desentralisasi, kearifan local itu membaur dengan budaya asli Multikulturalisme . Multikulturalisme perlu dikaji lebih jauh tentang konsep-konsepnya antara lain demokrasi, keadilan, dan hukum , nilai-nilai budaya dan etos , kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat , suku bangsa , kesuku bangsaan , kebudayaan suku bangsa , keyakinan keagamaan , ungkapan-ungkapan budaya , domain privat dan public , HAM , Hak budaya Komunity , dan sebagainya .

                 Reformasi yang terjadi pada tahun 1998 memberi harapan baru kepada seluruh elemen masdyarakat Indonesia akan terciptanya kehidupan yang lebih baik dalam segala hal. Pada zaman Orde Baru, represifitas Pemerintah pada waktu itu menciptakan masalah - masalah seperti diskriminasi rasial terhadap etnis tertentu (dalam beberapa hal), perlakuan tidak adil bagi orang – orang (dan keluarganya) yang diduga terlibat dalam jaringan PKI, intervensi, pengekangan kebebasan dan hak berpolitik masyarakat untuk berpikir, berorganisasi, mengemukakan pendapat, dan sebagainya.
Hadirnya Reformasi kemudian seakan menunjukkan sebuah jalan terang yang meluluhkan semua bentuk diskriminasi, ketidakadilan, intervensi, pengekangan kebebasan,dan sebagainya yang sempat terjadi selama masa Orde Baru. Reformasi memberikan mimpi dan harapan tentang kehidupan berbangsa dan bernegara yang jauh lebih demokratis, di mana kesejahteraan rakyat menjadi spiritnya. Jaminan terhadap adanya kebebasan – kebebasan yang sebelumnya dikekang kemudian memberi peluang – peluang bagi terwujudnya suatu tatanan baru dalam masyarakat Indonesia.
Pergeseran penafsiran makna demokrasi dan kebebasan berpolitik kemudian terjadi di dalam masyarakat Indonesia, begitu pula dalam hal manifestasi dan implementasinya. Kondisi yang terjadi di Indonesia kemudian adalah bertumbuh jamurnya berbagai partai politik dengan berbagai basis ideologi yang berbeda, khususnya pasca jatuhnya Orde Baru. Hal ini tentunya adalah konsekuensi dari adanya jaminan akan kebebasan dan hak berpolitik serta demokrasi yang dijanjikan oleh reformasi.
Yang menjadi masalah kemudian adalah partai – partai politik ini lebih sibuk mengaspirasikan kepentingan mereka sendiri dan melupakan apa yang menjadi aspirasi rakyat. Mereka sibuk berebut dan membagi – bagi kekuasaan kemudian melupakan substansi tujuan dari kekuasaan (politik) yaitu pelayanan dan kesejahteraan rakyat.
Berbagai kekhawatiran kemudian muncul dari kondisi perpolitikan seperti ini di masa yang akan datang. Begitupula dengan dampak yang akan ditimbulkan jika kondisi kondisi seperti ini terus terjadi, baik itu bagi lingkungan domestik Indonesia dengan berbagai bidang di dalamnya, maupun dalam hubungannya dengan dunia Internasional.
Kemajemukan dan pluralitas masyarakat Indonesia , menurut Retno Andriati  ( 1999 ) dapat dilihat secara horizontal maupun vertical . Indonesia dapat dikelompokkan menurut agama, ras, etnis, budaya dan lokalitas. Ini merupakan fisikal dan cirri-ciri bawaan dari masyarakat tersebut , jadi suatu masyarakat tersebut memiliki keunikan yang merupakan warisan nenek moyang mereka yang dipertahankan sampai sekarang. Secara vertical , masyarakat Indonesia dapat dibedakan menjadi golongan atas, golongan menengah , dan golongan bawah. Tahun-tahun pertama reformasi dimana kondisi labil yang terjadi dalam masyarakat  Indonesia dan adanya perubahan-perubahan frontal . baik dari segi sitem maupun pemerintahan , menjadikan semacam ke-chaos-an dalam masyarakat . Seperti ketika terjadi di Ambon , poso , dan Kalimantan . Dimana disana terjadi konflik horizontal yang lebih kepada pelanggaran Hak Asasi yang dilakukan kondisi masyarakatnya sendiri. Inilah dampak awal yang terjadi ketika transisi dari Orde baru ke Reformasi Dimana HAM seperti terinjak-injak oleh masyarakatnya sendiri. Akan tetapi , seiring berlangsungnya Reformasi yang telah berjalan kurang lebih selama 12 tahun ini , praktek-praktek seperti ini sudah jarang ditemukan , dan justru lebih terbuka menerima perbedaan yang ada. Mereka bahkan terintegrasi untuk memajukan Indonesia.
                 Langkah berani dilakukan oleh pemerintah Pusat yang mengeluarkan undang-undang yang berkaitan dengan multikulturalisme kebudayaan ini. Bangsa ini patut berbangga mempunyai pemimpin yang berjiwa Bhinneka Tunggal  Ika . Pada tanggal 16 September 1998 Presiden BJ. Habibie mengeluarkan instruksi presiden nomor 26 / 1998 yang ditujukan kepada seluruh jajaran birokrasi dan menghapuskan penggunaan istilah “ Pribumi “ dan “  Non Pribumi “ . Selanjutnya pada tanggal 17 Januari tahun 2000, Presiden Abdurahman Wahid mengeluarkan kepres No. 6/2000 yang berisi pencabutan instruksi Presiden No. 14/1967 tentang agama, kepercayaan dan adat istiadat cina . Kemudian dilanjutkan dengan Keputusan mentri agama No.13/2001 yang menetapkan Imlek sebagai libur  fakultatif dan diteruskan dengan pencabutan larangan penggunaan bahasa Tionghoa baik lisan maupun tulisan. Pada tanggal 17 Februari 2002, Presiden Megawati Soekarnoputeri mengumumkan mulai tahun 2003, imlek sebagai hari raya Tionghoa menjadi hari Nasional . Ini merupakan langkah yang strategis dimana peran serta masyarakat non pribumi diakui keberadaannya dan ikut juga diharapkan kontribusinya di dalam pembangunan Indonesia melalui kebudayaannya . Beberapa orang Tionghoa di solo, bias berintegrasi dengan orang-orang , lembaga-lembaga dan kebudayaan Jawa. Kegiatan seni merupakan jembatan antar dua kebudayaan Jawa dan Cina , kegiatan seni seperti tari , Karawitan , Wayang ,dll. Hal tersebut sangat tidak lazim dijumpai ketika Orde baru. Dimana kebudayaan tunduk pada represifnya pemerintahan .Komunitas-komunitas tersebut , juga berpotensi menjadi semacam kekuatan politik baru. Kembali ketika era Orde baru dimana kebebasan berpendapat dikebiri , dan hal itu berpengaruh pada kebebasan berpendapat dari komunitas-komunitas tersebut , mereka tidak bias menyuarakan pikiran-pikiran mereka dalam politik , karena pendapatmereka seakan tidak di dengar dan bahkan mereka tidak diberi kesempatan untuk mencicipi arena perppolitikan nasional . Kita tahu bahwa pemerintahan didominasi oleh rekan sejawat dari Soeharto .
                 Setelah runtuhnya rezim orde baru , dari sistem sentralistik ke system desentralisasi merupakan salah satu amanat rakyat dari agenda reformasi . Otonomi daerah sebagai wujud dari desentralisasi disambut positif oleh berbagai elemen dalam masyarakat . Otonomi daerah merupakan proses awal untuk mewujudkan pembangunan ditingkat local. Otonomi daerah sebagai amanat dari reformasi disambut cukup antusias oleh masyarakat local. Ada banyak harapan da keinginan yang mereka sandarkan pada otonomi daerah , meningkatnya pembangunan daerah dan juga peningkatan ekonomi dan kesejahteraan. Inilah tujuan dan cita-cita dari agenda desentralisasi dan implementasi otonomi daerah. Banyak pihak yang berharap bahwa pelaksanaan otonomi daerah itu akan memberikan wewenang yang besar kepada kabupaten  kota , namun banyak juga temuan yang menunjukkan bahwa otonomi daerah yang tidak diimbangi oleh perbaikan tata pemerintahan justru merugikan kepentingan public.
                 Kemempuan elit local dalam mempengaruhi masyarakat dikarenakan oleh beberapa hal , yaitu : pertama , mereka memiliki kekuasaan informal yang diakui dan dihormati oleh masyarakat. Elit  local secara umum memiliki pengetahuan dan wawasan yang cukup luas disbanding dengan kebanyakan masyarakat . Karena dengan adanya teknologi , baik media cetak maupun elektronik. Melalui tayangan media itulah mereka bias mengakses isu-isu reformasi dan juga akses pendidikan. Namun, peran strategis dari elit local untuk menjadi corong demokratisasi , menjadi sangat dilematis , ketika mereka mulai bersinggungan dengan kepentingan-kepentingan politik yang ingin mendapatkan masa pendukung dalam pemilu, terutama dalam pilkada langsung , demi kepentingan kelompok atau golongan . kondisi ini sebenarnya bisa dianggap sebagai sesuatu yang wajar  dan bentuk dari partisipasi elit local dalam berdemokrasi . tetapi yang menjadi masalah ketika elit local memanfaatkan kekuasaan untuk memonopoli masyarakat atau dengan mengarahkan pada pilihan politik tertentu . Selain itu ,  banyak juga terjadi kerusuhan-kerusuhan ditingkat local yang di picu oleh provokasi elit local . Disinilah terjadi ketidakserasian antara peran . Seharusnya dengan peran yang senyatanya , sehingga terjadi hambatan-hambatan dalam proses demokratisasi di daerah . Peranan elit local dalam mendorong demokratisasi di tingkat local sangat berpengaruh sekali, hal ini dikarenakan peran social yang mereka miliki. Dan mereka juga mempunyai pengaruh yang besar bagi masyarakat local. Biasanya mereka adalah panutan bagi masyarakat , sehingga mereka adalah sebuah symbol yang selalu dihormati dan dipatuhi. Tentunya kondisi masyarakat yang kental dengan budaya seperti ini di anggap sebagai penghambat dari proses demokrasi, Untuk melihat peranan elit local dalam demokratisasi, terutama pemilihan kepala daerah secara langsung . Dijelaskan dalam beberapa indicator peranan yaitu sebagai berikut :
a.      Peran dalam sosialisasi politik
           Pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan bentuk pesta demokrasi ditingkat local . Sehingga sangat penting pemahaman masyarakat terhadap system politik serta bagaimana masyarakat terlibat dan memainkan peran didalamnya sehingga mampu menempatkan pendidikan politik dalam sosialisasi agar masyarakat sadar menjadi sub politik . Sosialisasi merupakan mekanisme pembangunan demokrasi mengenai pendidikan polotik dan keberhasilan PILKADA ditentukan oleh bagaimana proses sosialisasi dilakukan.
b.      Peran dalam partisipasi politik
           Peranan elit sebagai salah satu actor dalam masyarakat , menjadikan mereka memiliki keterlibatan dalam proses PILKADA.
c.       Peran dalam control social
           Mengingat pentingnya PILKADA dalam proses panjang demokratisasi diindonesia, sudah selayaknya elit local mengambil peran sebagai bagian dari control social dalam proses tersebut.
Kemenangan Susilo Bambang Yudoyono dalam Pemilihan Presiden tahun 2005 kemudian menambah parah kekhawatiran rakyat. Apalagi latar belakang Presiden Yudhoyono adalah dari kalangan militer. Ini seakan mengindikasikan akan kembali berkuasanya rezim militer di Indonesia.
Kondisi ini tentunya diperparah oleh tidak befungsinya secara maksimal peran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam mengimbangi peran Pemerintah. Berbagai Rancangan Undang – Undang (RUU) dan aturan yang diusulkan oleh Presiden begitu mudahnya diloloskan di DPR. Hal ini tentu tidak lepas dari kuatnya basis dukungan terhadap Pemerintah di DPR. Setidaknya ada lima fraksi besar di DPR yang menjadi penyokong utama Pemerintah. Kondisi ini hampir mirip dengan kondisi di zaman Orde Baru, di mana Pemerintah mencengkeram habis DPR. Pemerintahan Presiden Yudoyono memang tidak serepresif Pemerintah Orde Baru, akan tetapi kuatnya basis dukungan terhadap pemerintahannya di DPR membuatnya sedikit otoriter dalam memerintah.
Kondisi – kondisi seperti ini yang tentulah harus dicarikan solusi jika kita tidak ingin jalan dan proses demokrasi mengalami hambatan di Indonesia. Setidaknya aturan yang dipermasalahkan oleh banyak pihak tersebut haruslah direvisi dan dibuatkan suatu aturan baru yang lebih menjanjikan kelangsungan dari jalan dan proses demokrasi di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar