KATA PENGANTAR
Puji syukur
kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat hidayah dan
karunia-Nya kepada kita semua, sehingga kami dapat menyelesaikan pembuatan
makalah ini dengan tema “ Politik
Multikultural”
Terlebih
dahulu penyusun menyadari dengan sepenuhnya bahwa pembuatan makalah ini masih
banyak terdapat kekurangan dan belum dikatakan sempurna karena keterbatasan
kemampuan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua
pihak, diharapkan dapat memperbaiki pembuatan makalah di lain waktu agar bisa
lebih baik lagi.
Penyusun
juga tidak menutup kemungkinan bahwa makalah ini juga dapat terselesaikan
berkat bantuan banyak pihak, maka dalam kesempatan ini kami ucapkan terimakasih yang tak
terhingga kepada Bu Nur Hidayah M, Si selaku dosen pembimbing kami yang sangat
membantu dalam proses penyelesaian makalah ini dan atas arahannya kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tak lupa kami ucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang ikut menyumbangkan dan ikut memberikan bantuan,
sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.
Yogyakarta,
16 September 2013
Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
MASALAH
Akar kata multikulturalisme adalah kebudayaan. Secara
etimologis,multikulturalisme dibentuk dari kata multi yang artinya banyak atau
beragam, kultural yang berarti budaya atau kebudayaan dan isme yang berarti
aliran atau paham.Secara hakiki dalam kata tersebut terkandung pengakuan akan
martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya
masing-masing yang unik.
Indonesia ini merupakan salah satu Negara multikultural yang
terbesar di dunia . Perbedaan suku , ras, bahasa, merpakan sebuah perbedaan
yang lazim ada dalam suatu masyarakat. Indonesia adalah negara dengan banyak
bangsa. Tidak hanya itu beragam ‘bangsa’ yang ada di Indonesia juga memiliki
kelompok-kelompok identitas partikular di dalamnya. Dalam arti ini Indonesia
adalah bangsa multikultur. Kultur sendiri adalah pandangan hidup, pandangan
dunia, horison makna, dan nilai-nilai yang diyakini oleh seseorang atuapun
suatu kelompok sebagai dasar pemikiran ataupun tindakannya. Adanya beragam
kultur bisa menjadi potensi kekayaan budaya bangsa yang besar, sekaligus
potensi pemecah dan pemicu konflik.
Dewasa ini di Indonesia sering terjadi konflik antar etnis yang dipicu oleh
berbagai perbedaan atau permasalahan saperti masalah sosial, masalah ekonomi,
masalah budaya, maupun masalah politik yang mengakibatkan perpecahan. Untuk itu
pemerintahan berdasar politik multikulturalisme haruslah memberikan ruang bagi
semua kelompok yang muncul dan berkembang di dalam masyarakat. Setiap kelompok
haruslah memiliki wakil di parlemen maupun di kabinet. Inilah ide dasar dari parlemen dan kabinet multikulturalisme.
Kepentingan setiap kelompok haruslah diberikan tempat untuk kemudian berdialog
dengan kepentingan kelompok-kelompok lainnya. Semua kelompok dari
berbagai kalangan harus mendapat tempat untuk menyalurkan aspirasinya dan ikut
berpartisipasi dalam pemerintahan. Tidak ada diskriminasi terhadap kelompok
tertentu, hak untuk berperan serta dalam pemerintahan atau kegiatan politik
terbuka selebar-lebarnya bagi semua kelompok yang ada.
B.
RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah
makalah ini antara lain adalah:
1.
Bagaimanakah yang dimaksud dengan multikulturalisme?
2.
Bagaimanakah politik Multikulturalisme di Indonesia setelah masa Orde Baru?
C.
TUJUAN
Tujuan dari
pembahasan makalah ini antara lain adalah:
1.
Mengetahui apa yang dimaksud dengan Multikulturalisme
2.
Mengetahui bagaimana politik Multikulturalisme di Indonesia setelah masa
Orde Baru
BAB II
LANDASAN TEORI
Akar kata
multikulturalisme adalah kebudayaan. Secara etimologis,multikulturalisme
dibentuk dari kata multi yang artinya banyak atau beragam, dan kultural yang
berarti budaya atau kebudayaan serta isme yang berarti aliran atau paham. Pada
kata tersebut terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam
komunitasnya dengan kebudayaan yang masing – masing unik.
Multikulturalisme adalah
paradigma yang menganggap adanya kesetaraan antar ekspresi budaya yang plural,
selain itu multikulturalisme adalah sebuah filosofi yang terkadang ditafsirkan
sebagai ideologi yang menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok
kebudayaan dengan hak dan status sosial politik yang sama dalam masyarakat
modern.
Konsep multikulturalisme
tidak dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara suku bangsa atau
kebudayaan suku bangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena
multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan
antara kebudayaan satu dengan kebudayaan lain. Penekanan pada keanekaragaman
tersebut mencakup bukan hanya kebudayaan – kebudayaan suku bangsa, namun juga
mencakup berbagai kebudayaan yang berlaku di Indonesia, baik yang bersifat
tradisional maupun yang berasal dari luar. Multikulturalisme mengajarkan kepada
kita bagaimana perbedaan yang ada tidak menjadi suatu hal yang dapat
menyebabkan perpecahan atau konflik.
Masyarakat multikultural
mempunyai karakteriktik, sebagaimana yang dikemukakan oleh Van Den Berghe.
Karakteristik tersebut, di dalam masyarakat terjadi segmentasi yang membentuk
mereka ke dalam bentuk kelompok – kelompok yang memiliki sub kebudayaaan yang
berbeda satu dengan yang lain, memiliki struktur sosial yang terbagi ke dalam
lembaga – lembaga yang bersifat nonkomplementer, terjadi kurang mengembangnya
konsensus, yang diantaranya mengenai nilai – nilai sosial yang bersifat dasar
yang ada dalam masyarakat, relatif sering terjadi konflik, secara relatif
integrasi sosial yang ada dalam masyarakat tumbuh diatas paksaan dan saling
ketergantungan di bidang ekonomi, serta adanya dominasi politik oleh suatu
kelompok terhadap kelompok – kelompok lainnya.
Sementara politik multikulturalisme
adalah pemerintahan dimana semua identitas khusus yang muncul dan berkembang di
dalam masyarakat mendapat ruang.Setiap kelompok tersebut haruslah memiliki
wakil di parlemen maupun di kabinet. Semua kelompok dari berbagai kalangan
harus mendapat tempat untuk menyalurkan aspirasinya dan ikut berpartisipasi
dalam pemerintahan. Tidak ada diskriminasi terhadap kelompok tertentu, hak
untuk berperan serta dalam pemerintahan atau kegiatan politik terbuka
selebar-lebarnya bagi semua kelompok yang ada.
Arah atau tujuan politik
multikulturalisme adalah untuk mendapat
pengakuan keberagaman budaya yang menumbuhkan kepedulian agar berbagai kelompok
yang termarjinalisasi dapat terintegrasi, dan masyarakat mengakomodasi perbedaan
budaya agar kekhasan identitas mereka diakui. Sementara itu sasaran politik
multikultural adalah untuk membentuk toleransi, keterbukaan, dan solidaritas,
membangun artikulasi politik dan multikulturalisme guna menciptakan ruang
publik agar beragam komunitas berinteraksi untuk memperkaya budaya dan
memfasilitasi konsensus, mengimbangi kebijakan ekonomi yang teknokratis,
multikulturalisme mengusulkan sistem baru representasi dan partisipasi, serta
penataan ruang publik menyangkut tiga aspek, yaitu fisik-sosial, budaya, dan
politik.
Terkait dengan politik
multikulturalisme, ada istilah yang disebut dengan pluralisme. Pluralisme
adalah konsep yang biasanya digunakan untuk mengartikan keberagaman sosial atau
stratifikasi sosial dalam suatu masyarakat. Hal ini menyangkut, keanekaragaman
pandangan dunia, etnisitas, agama, peran, dan orang – orang di dalam suatu
masyarakat. Pluralisme mengarah pada kesadaran akan adanya pihak lain dan
perbedaan baik dalam kehidupan nyata maupun kehidupan filosofis dengan
representasinya.
Membahas mengenai pluralisme,
gender dapat dikaitan dengan topik tersebut karena gender dianggap sebagai
bagian dari problem pluralisme. Para ahli teori sosial terutama perempuan,
menandaskan bahwa gender harus diakui sebagai kategori yang spesifik,
realivistik, dan kultural. Dengan demikian, memasukkan gender dalam wacana
pluralisme berarti mengakui bahwa gender bisa dibangun dengan berbagai
representasi yang berbeda – beda.
BAB III
PEMBAHASAN
Pandangan dunia mengenai
multikultural, secara substansif sebenarnya tidak terlalu baru di Indonesia.
Prinsip Indonesia sebagai negara “ bhinneka tunggal ika”, mencerminkan bahwa
meskipun Indonesia adalah negara yang multikultur namun tetap terintegrasi
dalam keikaan, kesatuan.
Namun pada tahun – tahun
awal kebangkitan nasional Indonesia, ada ketegangan budaya yang sangat dalam
mengenai berbagai istilah dan rancangan bangsa ini. Ketegangan tersebut
menyangkut orang – orang jawa sekuler dan orang – orang non-jawa, terutama kaum
nasionalis Sumatera yang berorientasi pada agama islam. Penunjukan Soekarno
sebagai presiden pertama menjadi pertanda kemenangan nilai – nilai nasionalis
yang sekuler dan menyiapkan jalan bagi dominasi simbol – simbol jawa di tingkat
nasional. Kesuksesan ini juga mempengaruhi corak khas yang digunakan untuk
mencanangkan identitas gender di negara yang baru ini.
Sebagai contoh, sejak awal
istilah Jawa wanita mulai digunakan
lebih luas daripada istilah perempuan
dari bahasa Melayu. Istilah perempuan menyiratkan
makna yang lebih dinamis dan kuat tentang kewanitaan sebagaimana
dimanifestasikan oleh para pemimpin perempuan melayu yang terkenal dalam
sejarah Melayu-Indonesia. Sebaliknya, wanita
mengandung konotasi suatu gaya lady-likeatau
perilaku perempuan yang halus budi bahasanya. Penekanannya bukan hanya pada
kehalusan itu, melainkan suatu kehalusan budi bahasa yang hanya ada dalam
masyarakat Jawa kelas atas.
Sementara pada masa
pemerintahan presiden Soeharto, pembangunan gender di Indonesia bersifat
politis dalam artian bahwa proses pembentukan bangsa yang dibangun pada saat
itu tidak hanya tergantung pada perkembangan ekonomi atau upaya membangun
negara yang mandiri secara politis, melainkan juga bagaimana mengajari
masyarakat mempertahankan peran – peran dan kedudukan mereka yang terbatas.
Munculnya budaya dan Jawa
elite sebagai bangunan makro ideologis orde baru Soeharto telah menciptakan
citra hegemoni dan hegemonis perempuan. Ekspresi kultural dari cita – cita ini
adalah perempuan yang menikah tanpa lelah membaktikan hidupnya kepada suami dan
anak – anak. Kesuksesan karier laki – laki dan pendidikan anak – anak menjadi
parameter yang menunjukkan kesuksesan peran istri.
Selain mengendalikan
militer sebagai basis kekuasaannya, Soeharto juga menuntut para pejabat
pemerintah menjadi anggota partai Golongan Karya. Partai ini memiliki program
yang dikenal dengan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila yang mana
pemerintah memasukkan pandangan – pandangan hegemonis dalam segala hal, dari
masalah kepresidenan hingga status perempuan dan para istri.
Dalam era yang menyuruh
perempuan menerima sebuah tipe ideal mengenai feminitas dan maskulinitas yang
dibangun untuk rezim tersebut. Ideologi ini menjadi pembatas kemampuan
perempuan untuk memenuhi kebutuhan – kebutuhan kultural dan strategis mereka.
Gerakan reformasi yang
muncul di akhir rezim Soeharto membawa peluang baru bagi perempuan untuk
menengok kembali perlakuan – perlakuan sosial dan politik yang bersifat
membatasi tersebut. Dalam lingkungan yang baru, diharapkan perempuan akan
diberi kebebasan memilih perwakilan mereka yang konsisten dengan keadaan mereka
sendiri tanpa stigma sosial.
Demokrasi yang merupakan
aspirasi kita semua mensyaratkan agar kita menghilangkan sikap – sikap priyayi
elite Jawa yang memungkinkan kaum elite menjalankan kekuasaannya terhadap kaum
perempuan. Karena kaum elite tersebut mendapat tambahan legitimasi dari ajaran
– ajaran agama yang konservatif, maka kunci penting untuk mengupayakan hal ini
kita juga harus melatih perempuan untuk mengembangkan dan mengemukakan
interpretasi – interpretasi progresif mereka akan tradisi religius mereka kalau
hal tersebut menyangkut dua jenis kelamin bukan hanya untuk laki – laki saja.
Pengakuan atas pandangan – pandangan perempuan dalam menangani segala aspek
kehidupan merupakan bagian integral dari demokrasi dan masyarakat plural. Agar
pendekatan pluralistik gender bisa berjalan, berarti kaum perempuan harus
diberi hak memilih ekspresi – ekspresi heterogen bagi mereka sendiri.
Selain itu, salah satu
ciri paling menonjol dari wacana politik resmi orde baru adalah pengingkaran
adanya kelas – kelas atau konflik kelas. Eksistensi mereka bertentangan dengan
inti pemikiran politik resmi orde baru, yang didasarkan pada pandangan holistik
dan organis tentang hubungan antara negara dan masyarakat. Dengan kecenderungan
ideologi ini, pergolakan sipil dalam Orde Baru Soeharto menunjukkan dimensi
sosial-ekonomi atau kelas, hal ini sering kali dijelaskan dengan acuan – acuan
etnis atau keagamaan. Misalnya, kerusuhan buruh di Medan pada tahun 1994 yang
melibatkan 20.000 pekerja pabrik dan mengakibatkan kematian seorang pengusaha
cina lokal. Hal tersebut menggambarkan ketegangan antara pribumi dengan etnis
cina, dan bukan dikarenakan sebagai pertikaian antara pekerja dengan
majikannya. Sementara sentimen anti-cina tak dapat diingkari merupakan salah
satu faktor dalam kejadian tersebut, pelepasan isu – isu rasial dan etnis dari
isu – isu yang berkaitan dengan ketidak adilan sosio-ekonomi yang begitu
mencolok.
Sementara itu di
Indonesia, politik multikulturalisme mulai menjadi wacana hangat yang
diperbincangkan orang ketika mantan presiden Abdur Rahman Wahid atau Gus Dur
menjabat. Beliau merupakan tokoh yang menghargai dan menjunjung tinggi
perbedaan atau pluralisme yang ada di Indonesia. Salah satu caranya adalah
dengan mengakui keberadaan dan eksistensi kaum Tionghoa ditengah – tengah warga
pribumi, bahkan keturunan Tionghoa mendapat kesempatan untuk berperan serta
dalam pemerintahan. Selain itu, Konghuchu, agama warga Tionghoa diakui sebagai
agama resmi ke enam di Indonesia pada masa pemerintahannya.
Tiga aspek penting dari
sikap eksistensial Gus Dur sebagai penghayatan hidupnya akan multikulturalisme.
Ketiga aspek itu dapat menjadi landasan bagi terbangunnya sebuah politik
multikulturalisme di Indonesia, yaitu terbangunnya penghayatan hidup bersama
akan keberagaman sebagai bagian dari hidup bersama yang perlu dihayati secara
konsekuen.
Aspek pertama dari multikulturalisme yang
dengan gigih dihayati oleh Gus Dur adalah pengaku anak adanya pluralitas atau
perbedaan cara hidup, baik secara agama, budaya, politik, maupun jenis
kelamin.Hal tersebut memberi ruang kepada masing – masing masyarakat yang
berbeda tersebut untuk mengaktualisasikan dirinya sendiri tanpa harus takut
terkena diskriminasi dari pihak lain karena haknya dijamin dan dilindungi oleh
hukum.
Konsekuensilogis dari pilihan politik seperti
itu adalah toleransi menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari politik
pengakuan.Akibatlogis yang masuk akal dari politik pengakuan adalah membiarkan
orang lain berkembang dalam identitasnya yang unik.Gus Dur menghayati dan
mempraktikkan toleransi yang berbeda dan sudah satu langkah lebih maju. Beliau
mendorong semua kelompok melaksanakan penghayatan identitas kulturalnya secara
konsekuen selama tidak mengganggu ketertiban bersama, tidak mengganggu dan
menghambat kelompok lain. Beliau mendorong orang Kristen menjadi orang Kristen
sebagaimana seharusnya seorang Kristen yang baik. Beliau pun mendorong orang
Papua menjadi orang Papua dalam identitas budayanya yang unik dan seterusnya.
Aspek ketiga dari multikulturalisme Gus Dur
adalah semakin ia mengakui kelompok lain dalam perbedaannya dan mendorong
kelompok lain menjadi dirinya sendiri, semakin Gus Dur menjadi dirinya sendiri
dalam identitas kultural dan jati dirinya. Semakin Gus Dur mendorong umat dari
agama lain menghayati agamanya secara murni dan konsekuen, beliau justru
semakin menjadi seorang muslim yang baik dan taat.
BAB IV
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
multikulturalisme
adalah pandangan saling menghargai dan menghormati dalam perbedaan dan bukan
sekadar toleransi.Multikulturalisme adalah paradigma yang menganggap adanya
kesetaraan antar ekspresi budaya yang plural, selain itu multikulturalisme
adalah sebuah filosofi terkadang ditafsirkan sebagai ideologi yang menghendaki
adanya persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial
politik yang sama dalam masyarakat modern.
Pemerintahan
berdasar politik multikulturalisme adalah pemerintahan dimana semua identitas
partikular yang muncul dan berkembang di dalammasyarakat mendapat ruang.Setiap
kelompok identitas partikular haruslah memiliki wakil di parlemenmaupun di
kabinet. Sasaran Politik Multikultural :Membentuk toleransi, keterbukaan, dan
solidaritas ;Membangun artikulasi politik dan multikulturalisme guna
menciptakan ruang publik agar beragam komunitas berinteraksi untuk memperkaya
budaya dan memfasilitasi konsensus.
Arah atau tujuan politik
multikulturalisme adalah untuk mendapat
pengakuan keberagaman budaya yang menumbuhkan kepedulian agar berbagai kelompok
yang termarjinalisasi dapat terintegrasi, dan masyarakat mengakomodasi
perbedaan budaya agar kekhasan identitas mereka diakui.
B.
REFERENSI
Indra. 2012. Politik Multikultur. Di
akses dari http://ambriomimpiku.blogspot.com/2011/12/politik-multikulturalisme.html pada tanggal
16 september 2013.